Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Perkembangan teknologi dewasa ini sudah tidak bisa kita hindari lagi. Khususnya perkembangan di teknologi telekomunikasi dan informasi telah berkembang sangat pesat di era sekarang ini. Dengan meningkatnya pengetahuan dan rasa keingintahuan masyarakatyang sangat besar, serta masifnya fasilitas yang ada masyarakat semakin mudah mempelajari teknologi telekomunikasi dan informasi yang berupa komputer, smartphone dan internet. Menurut data dari Katadata, jumlah pengguna smartphone di Indonesia sudah mencapai angka 170,6 juta orang Ainun Jamilah 2020. Dan pengguna internet sendiri sudah mencapai angka 202,6 juta orang. Jumlah ini meningkat 15,5 persen jika dibandingkan pada tahun 2020 lalu Galuh Putri Riyanto 2020. Melalui internet, transaksi perdagangan dapa dilakukan dengan cepat dan mudah. Perdagangan dan transaksi di internet biasanya disebut e-commerce oleh masyarakat umum. Sehingga segala kegiatan masyarakat saat ini berkaitan dengan internet. Internet ini juga menjadi New Media Society Litle John dan Foss 2019. Tetapi kemajuan teknologi ini menimbulkan suatu efek negatif. karena sebagian besar kegiatan masyarakat tergeser keinternet maka tak jarang ditemui masyarakat yang memiliki karakter konsumerisme dan karena hal, kejahatan pun mulai menyasar ke dalam dunia digatal dan internet. Tentu kejahatan in berbeda dengan kejahatan konvesional. Kejahatan bentuk ini biasa juga disebut kejahatan siber atau cyber crime. Penyalahgunaan internet sebagai salah satu dampak dari perkembangan tersebut tidak terlepas dari sifatnya yang khas sehingga membawa persoalan baru yang sulit untuk dipecahkan. Kejahatan internet masih berhubungan dengan kode etik dalam bidang IT yang kemudian berkembang menjadi kejahatan hal ini juga menggangu jalur perdagangan dalam e-commerce dimana smua masyarakat menggunakan berbagai aplikasi e-commerce sebagai tempat belanja harian. Pengertian e-commerce sendiri merupakan sebuah kegiatan penyebaran, pembelian, penjualan, pemasaran barang dan jasa melalui sistem internet atau televisi,web,atau jaringan. E-commerce bisa melibatkan transfer dan elektronik, sistem manajemen inventori otomatis. Penipuan online adalah salah satu bentuk kejahatan berbasis online yang dilakukan oleh beberapa orang yang tidak bertanggung jawab untuk memberikan informasi palsu demi kepentingan pribadi. Contoh kasusnya adalah Seorang warga negara Indonesia diduga terlibat kasus penipuan terhadap seorang warga negara Amerika Serikat melalui penjualan online. Kasus ini terungkap setelah Markas Besar Kepolisian mendapat laporan dari Biro Penyelidik Amerika Serikat. "FBI menginformasikan tentang adanya penipuan terhadap seorang warga negara Amerika yang berinisial JJ, yang diduga dilakukan oleh seorang yang berasal dari Indonesia," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat, Brigjen Pol Boy Rafli Amar, di Mabes Polri, Kamis 11 Oktober 2012. Boy mengatakan seorang warga Indonesia itu menggunakan nama HB untuk membeli sebuah alat elektronik melalui pembelian online. "Jadi ini transaksi melalui online, tetapi lintas negara. Jadi transaksinya dengan pedagang yang ada di luar negeri, khususnya Amerika," kata Boy. Dalam kasus ini, kata Boy, Mabes Polri telah menetapkan satu tersangka berinisial MWR. Dia memanfaatkan website yang memuat iklan penjualan barang. Kemudian, kata Boy, MWR menghubungi JJ melalui email untuk membeli barang yang ditawarkan dalam website itu. 1 2 Lihat Money Selengkapnya
PialaPresiden bulu tangkis sediakan hadiah lebih dari Rp1 miliar UU No. 19/2016 tentang Perubahan atas UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan atau tindak pidana penipuan dan penggelapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 KUHP dan Pasal 3 dan 4 UU No. 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
JAKARTA - Praktik-praktik penipuan mengatasnamakan bank saat ini tetap marak terjadi dan tak kunjung usai. Kondisi ekonomi yang sedang tidak bagus, membuat sindikat jahat melakukan penipuan untuk mengeruk keuntungan dari korbannya. Karenanya, Anda sebaiknya perlu mengenali dan mewaspadai jenis modus-modus penipuan bank berikut cara menghindarinya. Penipuan bank adalah salah satu tindak kriminalitas yang dilakukan oleh orang tak bertanggung jawab demi mendapat keuntungan pribadi. Pelaku biasanya akan berpura-pura sebagai pegawai bank terkait dan meminta informasi pribadi nasabah untuk mendapatkan akses ke rekening tabungannya. Serem, ya? Kejadian seperti ini mungkin sudah tak asing lagi di telinga. Atau bahkan Anda pernah mengalaminya sendiri? Untuk menghindari hal seperti berikut terjadi lagi, Anda perlu mengenali dan mewaspadai jenis-jenis penipuan bank dan cara-cara mengatasinya. Baca juga Waspada, Aplikasi Android Ini Kerap Jadi Sasaran Phising dan Kebocoran Data Pribadi Agar tidak ada korban penipuan lagi, kenali jenis-jenis penipuan yang mengatasnamakan bank. OCBC NISP membagikan empat jenis penipuan mengatasnamakan bank yang kerap terjadi di masyarakat. Berikut rinciannya, yang nomor 4 Anda sangat mungkin pernah mengalaminya 1. Phishing Phishing Phishing adalah salah satu bentuk dari jenis-jenis penipuan bank di mana penipu berusaha memperoleh informasi atau data sensitif, seperti nama lengkap, password, dan informasi kartu kredit/debit melalui media elektronik dengan menyamar sebagai lembaga terpercaya. Jenis jenis penipuan phising biasa dijumpai dalam bentuk e-mail, pesan teks, atau telepon. Pelaku phising dalam bentuk telepon umumnya akan mengajak korban mengobrol sampai korban secara tidak sadar memberi informasi yang pelaku butuhkan. Sementara phishing dalam bentuk pesan teks biasa dilakukan oleh penipu dengan mengirimkan pesan palsu yang mengarahkan calon korban untuk melakukan transfer sejumlah uang. Baca juga Rawan Digunakan untuk Penipuan, Kominfo Larang Penjualan Kartu SIM dalam Keadaan Aktif Pada jenis-jenis penipuan phising email, penipu mengirimkan e-mail kepada calon korban dengan mengatasnamakan lembaga terpercaya. Pelaku memancing korban untuk menekan link yang tercantum di dalam e-mail. Kemudian calon korban diarahkan untuk mengklik sebuah tautan link yang mengarahkan mereka untuk membuka halaman website pelaku. Baca juga Sindikat Penipuan Berkedok Pacaran Virtual Lintas Negara Dibongkar Polisi Singapura dan Malaysia Pada laman palsu tersebut, alamat URL tidak sesuai dengan milik bank resmi. Setelah calon korban dijebak pada halaman palsu, mereka diminta untuk mengisi beberapa data pribadi. Di mana akhirnya data tersebut akan terkirim secara otomatis kepada pelaku kejahatan dan berakibat pembobolan akun rekening bank. Menyeramkan, bukan? Isi e-mail tersebut umumnya berisi desakan seperti rekening Anda akan diblokir, keamanan akun terancam sehingga harus segera memperbarui password, hadiah yang akan hangus jika tidak segera diklaim, dan masih banyak lagi. Paling umum terjadi adalah korban harus melakukan pembaharuan akun internet banking Upgrade Your Account. 2. Impersonation Impersonation dalam dunia cybercrime adalah jenis-jenis penipuan bank di mana pelaku mengaku sebagai pihak bank yang berpura-pura menawarkan sesuatu kepada korban untuk memperoleh informasi pribadi. Hal umum yang sering terjadi korban dialihkan untuk mengunjungi situs website palsu. Kemudian pelaku yang mengaku sebagai pihak bank meminta korban untuk mengisi data pribadi pada halaman website. Baca juga Kepolisian Jepang Catat Kasus Serangan Cyber dan Penipuan Online Dengan demikian pelaku penipuan bank dapat mengetahui informasi bersifat pribadi lalu diolah agar oknum dapat mengakses rekening korban dan menarik sejumlah uang. 3. Vishing Vishing adalah singkatan dari voice phishing. Merupakan jenis-jenis penipuan bank melalui telepon. Pelaku memanfaatkan teknologi social engineering melalui telepon agar dapat mengakses informasi dan keuangan pribadi. Sama halnya dengan phishing dan smishing, pelaku akan mengelabui korban dengan memperoleh hadiah. Tak hanya itu, penipu bisa mengancam korban untuk memberikan data pribadi. Jenis penipuan dengan vishing biasanya akan menyasar pada penipuan pembuatan kartu kredit, penipuan payment card, penipuan pulsa, penipuan dalam transfer, dan sejenisnya. 4. Smishing Jenis-jenis penipuan bank dengan cara phising melalui pesan elektronik/SMS disebut Smishing. Smishing juga disebut sebagai SMS penipuan. Penipuan bank lewat SMS yang sering dijumpai adalah penipuan sms banking. Dengan mengetahui nomor handphone calon korban, pelaku penipuan akan mengirimkan SMS atas nama lembaga terpercaya. Pesan yang dikirimkan biasanya berisi tautan link agar korban terarah ke dalam informasi palsu berupa nomor Call Center palsu. Modus penipuan bank dengan cara smishing ini cerdas dilakukan. Sejumlah tersangka WN China yang melakukan penipuan online dihadirkan saat rilis di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Selasa 26/11/2019. Polda Metro Jaya melakukan penggerebekan di enam lokasi di Jakarta Barat terhadap puluhan WNA asal China yang diduga merupakan sindikat pelaku penipuan. Penggerebekan tersebut merupakan hasil kerja sama kepolisian Indonesia dengan China. Warta Kota/Angga Bhagya Nugraha Warta Kota/Angga Bhagya Nugraha Sebab biasanya pelaku menggunakan skrip atau naskah tertentu untuk meyakinkan calon korbannya. Bentuk-bentuk penipuan bank yang menggiurkan calon korban seperti terpilih sebagai pemenang dalam undian berhadiah. Ada pula yang menginformasikan adanya transaksi mencurigakan dalam rekening calon korban, meminta konfirmasi, menuntut korban untuk mengirimkan dana sebagai bentuk pencairan bantuan, meminta informasi nasabah hingga payment card penipuan. Cara Mengatasi Penipuan Mengatasnamakan Bank Anda tak perlu khawatir dengan maraknya jenis-jenis penipuan bank yang beredar. Anda bisa mengantisipasinya dengan beberapa cara berikut. 1. Jangan beritahukan informasi pribadi kepada siapapun Agar tidak menjadi korban penipuan bank, sebaiknya Anda benar-benar menjaga kerahasiaan informasi pribadi. Jika ada yang meminta informasi pribadi Anda selain dari lembaga bank terpercaya, hindari untuk menginformasikannya. Lebih baik Anda bertanya secara langsung melalui lembaga resmi jika ada yang meminta data pribadi. Biasanya lembaga resmi yang menghubungi Anda akan menggunakan nomor call center kantor. Beberapa data pribadi bersifat rahasia yang wajib dilindungi antara lain User ID, password PIN, MPIN, nomor kartu kredit, passcode, PIN, password ATM, Kartu Kredit. Begitu juga kode One Time Password OTP, kode kupon yang diterima melalui nomor handphone jika pelaku mengaku mengirim kode tersebut dengan nomor tidak dikenal, nama orang tua biasanya nama ibu kandung. 2. Selalu perbarui data pribadi secara berkala kepada bank Untuk menghindari penipuan berupa adanya perubahan informasi data pribadi, sebaiknya Anda melakukan pembaharuan secara berkala kepada pihak bank resmi. Agar kesempatan tersebut tidak digunakan oleh penipu. Apabila Anda tidak melakukan pembaruan data, namun terdapat notifikasi atau informasi dari nomor tidak dikenal, lebih baik melaporkan hal tersebut kepada pihak bank. Anda bisa juga menghubungi call center bank untuk memblokir rekening, kartu debit atau kredit sebagai bentuk antisipasi. 3. Hindari transaksi online menggunakan fasilitas wi-fi umum Menggunakan Wifi publik memiliki risiko tinggi dimana informasi pribadi yang ada di handphone dapat bocor. Dikhawatirkan Wi-Fi publik telah diatur agar pelaku mampu mengakses informasi pribadi hingga membobol rekening bank. Sebaiknya Anda mematikan fitur Wi-Fi terlebih dahulu saat melakukan transaksi keuangan melalui handphone di tempat umum. Menggunakan data internet pribadi akan lebih aman daripada menggunakan Wi-Fi publik. 4. Mengaktifkan fitur Two Factor Authentication Two-Factor Authentication 2FA merupakan sebuah otentikasi dua faktor atau melakukan verifikasi dua cara. Sebuah fitur keamanan ganda yang dapat menjaga informasi pribadi secara online. Anda dapat mengaktifkan alat keamanan ini pada aplikasi atau platform penting seperti aplikasi SMS, telepon, email, media sosial, situs belanja online, layanan digital perbankan, aplikasi dompet digital, dan sejenisnya. 5. Langsung blokir nomor telepon penipu Saat ada yang menghubungi Anda lewat nomor tak dikenal dan terkesan mencurigakan, lebih abaikan panggilan tersebut atau mematikan panggilannya. Jika nomor telepon tersebut berusaha menghubungi Anda secara berulang kali, sebaiknya langsung blokir nomor telepon tersebut. Meskipun isi panggilan menginformasikan data pribadi atau hal-hal penting lainnya. Lebih baik Anda menghubungi pihak bank untuk mengkonfirmasi atas informasi yang telah Anda terima dari nomor tidak dikenal. Sebab umumnya pihak bank tidak akan menginformasikan hal-hal rahasia melalui telepon. Biasanya bank akan mengirim email dengan alamat email resmi untuk mengabarkan berita penting kepada nasabahnya.
Guemau share aja, ini terjadi deket kampus kita. Kalo ada aktivis ato anak BEM yang baca, mungkin bisa angkat kasus ini di BEM dan mengkomunikasikan ke pihak manajemen Detos untuk mengambil tindakan, karena denger-denger udah banyak laporannya.. Kasian kalo temen-temen kita jadi korban, terutama maba dari daerah yang masih
ORBITINDONESIA- Beragam penipuan siber di Indonesia menunjukkan bahwa penipuan berkedok hadiah menjadi modus penipuan digital tertinggi dinegara ini."Dari responden, riset menunjukkan 66,6 persen dari mereka orang pernah menjadi korban penipuan digital, dengan penipuan berkedok hadiah 36,9 persen melalui jaringan seluler sebagai modus yang paling banyak memakan korban," kata Ketua Tim Peneliti CfDS UGM Dr. Novi Kurnia. Ada 15 modus penipuan digital, beberapa di antaranya berkedok hadiah 91,2 persen, pinjaman online ilegal 74,8 persen, pengiriman tautan yang berisi malware/virus 65,2 persen hingga penipuan berkedok krisis keluarga 59,8 persen. "Pesan penipuan berkedok hadiah cenderung disampaikan secara massal. Selain itu, rendahnya kemampuan ekonomi calon korban menjadi celah penipu untuk melancarkan aksinya, dan modus pesan penipuan digital ini dapat terus berkembang," kata Novi. Baca Juga Hacker Bjorka Bongkar Identitas Pembunuh Aktivis HAM Munir selama 18 Tahun Tidak Terungkap, Siapakah Dia? Lebih lanjut, Novi mengatakan dari studi tersebut, terdapat setidaknya delapan medium penipuan digital, masing-masing medium memiliki karakter jenis pesan penipuan yang tersebut termasuk jaringan seluler seperti SMS/telepon 64,1 persen, media sosial 12,3 persen, aplikasi chat 9,1 persen, situs web 8,9 persen, surel 3,8 persen, lokapasar 0,8 persen, game 0,5 persen, dan dompet elektronik 0,4 persen.Di sisi lain, lebih dari separuh responden 50,8 persen yang menjadi korban penipuan menyatakan bahwa mereka tidak mengalami kerugian."Alasan korban menyatakan hal tersebut adalah mereka telah mengikhlaskan peristiwa itu sebagai bagian dari cobaan atau perjalanan hidup. Di samping itu, sebagian responden juga melihat kerugian dari aspek finansial saja," kata Novi. Baca Juga Deretan Data Bocor yang Terjadi di Indonesia Karena Hacker, dari BPJS Sampai Data Vaksinasi PresidenKerugian lainnya mencakup uang 15,2 persen, kerugian waktu 12 persen, perasaan seperti malu, sedih, kecewa, takut dan trauma 8,4 persen, kebocoran data pribadi 8,3 persen, kerugian barang 4,2 persen, lainnya 1,2 persen, kerugian fisik 0,3 persen.Bicara soal laporan, 48,3 persen korban memilih untuk menceritakan kepada keluarga atau teman. Sementara ada yang tidak melakukan apa-apa 37,9 persen, menceritakan kepada warganet 5,3 persen, melaporkan pada media sosial atau platform digital lainnya 5 persen, dan melaporkan kepada kepolisian 1,8 persen."Seluruh pemangku kepentingan diharapkan dapat melakukan kolaborasi dan sinergi untuk menjawab harapan dan kebutuhan masyarakat agar terhindar dari penipuan digital," ujar studi tersebut, Novi mengatakan responden memiliki sejumlah rekomendasi penipuan digital. Dari sisi pencegahan, responden menginginkan adanya peningkatan sistem keamanan dan perlindungan data pribadi 98,1 persen, kepastian hukum bagi penanganan penipuan digital 98,1 persen, dan publikasi kasus terkini dan modus operandi penipuan digital 97,2 persen. Baca Juga Profil dan Rekam Jejak Muchdi Purwopranjono Mantan Kepala BIN Diduga Pelaku Utama Pembunuhan MunirLebih lanjut, edukasi atau pelatihan tentang keamanan digital 97 persen, ketersediaan situs web dan aplikasi dari pihak berwenang untuk bisa mengecek validitas penjual 96,7 persen, dan kampanye publik agar warga berhati-hati dan tips cara menghindari penipuan 95,9 persen.Sementara dari sisi penanganan, responden menganggap sangat penting untuk pemberian hukuman setimpal bagi penipu dan kompensasi bagi korban oleh penipu 70,5 persen.Disusul dengan rekomendasi profesionalitas aparat dalam membantu korban 69,4 persen; ketersediaan sistem pelaporan yang memudahkan korban melapor 65,8 persen, dan rekomendasi pendampingan/advokasi korban penipuan 59,3 persen.***
JAKARTA KOMPAS.com- Truecaller, aplikasi identifikasi dan pemblokir nomor telepon menunjukkan bahwa upaya penipuan melalui sambungan telepon masih bermunculan selama pandemi Covid-19.. Pelaku penipuan sering menghubungi korban dan meminta kode OTP yang dikirimkan ke ponsel mereka. Penipu lalu menggunakan kode-kode ini untuk
Ilustrasi - Seorang peretas mencoba membongkar keamanan siber. ANTARA/Shutterstock/am - Masyarakat diminta hati-hati dengan berbagai modus penipuan melalui sarana digital yang banyak memakan korban. Studi terbaru dari Center for Digital Society CfDS Universitas Gadjah Mada UGM bertajuk "Penipuan Digital di Indonesia Modus, Medium, dan Rekomendasi" menunjukkan bahwa penipuan berkedok hadiah menjadi modus penipuan digital tertinggi di Indonesia. "Dari responden, riset menunjukkan 66,6 persen dari mereka orang pernah menjadi korban penipuan digital, dengan penipuan berkedok hadiah 36,9 persen melalui jaringan seluler sebagai modus yang paling banyak memakan korban," kata Ketua Tim Peneliti CfDS UGM Novi Kurnia dalam seminar web, Rabu 24/8. Baca Juga Eks Bos F1 Bernie Ecclestone Didakwa atas Kasus Penipuan Adapun terdapat 15 modus penipuan digital, beberapa di antaranya berkedok hadiah 91,2 persen, pinjaman online ilegal 74,8 persen, pengiriman tautan yang berisi malware/virus 65,2 persen hingga penipuan berkedok krisis keluarga 59,8 persen. "Pesan penipuan berkedok hadiah cenderung disampaikan secara massal. Selain itu, rendahnya kemampuan ekonomi calon korban menjadi celah penipu untuk melancarkan aksinya, dan modus pesan penipuan digital ini dapat terus berkembang," kata Novi dikutip Antara. Lebih lanjut, Novi mengatakan dari studi tersebut, terdapat setidaknya delapan medium penipuan digital, masing-masing medium memiliki karakter jenis pesan penipuan yang berbeda. Medium-medium tersebut termasuk jaringan seluler seperti SMS/telepon 64,1 persen, media sosial 12,3 persen, aplikasi chat 9,1 persen, situs web 8,9 persen, surel 3,8 persen, lokapasar 0,8 persen, game 0,5 persen, dan dompet elektronik 0,4 persen. Di sisi lain, lebih dari separuh responden 50,8 persen yang menjadi korban penipuan menyatakan bahwa mereka tidak mengalami kerugian. "Alasan korban menyatakan hal tersebut adalah mereka telah mengikhlaskan peristiwa itu sebagai bagian dari cobaan atau perjalanan hidup. Di samping itu, sebagian responden juga melihat kerugian dari aspek finansial saja," kata Novi. Baca Juga Tips Jitu Menghindari Penipuan Online Kerugian lainnya mencakup uang 15,2 persen, kerugian waktu 12 persen, perasaan seperti malu, sedih, kecewa, takut dan trauma 8,4 persen, kebocoran data pribadi 8,3 persen, kerugian barang 4,2 persen, lainnya 1,2 persen, kerugian fisik 0,3 persen. Bicara soal laporan, 48,3 persen korban memilih untuk menceritakan kepada keluarga atau teman. Sementara ada yang tidak melakukan apa-apa 37,9 persen, menceritakan kepada warganet 5,3 persen, melaporkan pada media sosial atau platform digital lainnya 5 persen, dan melaporkan kepada kepolisian 1,8 persen. "Seluruh pemangku kepentingan diharapkan dapat melakukan kolaborasi dan sinergi untuk menjawab harapan dan kebutuhan masyarakat agar terhindar dari penipuan digital," ujar Novi. Dari studi tersebut, Novi mengatakan responden memiliki sejumlah rekomendasi penipuan digital. Dari sisi pencegahan, responden menginginkan adanya peningkatan sistem keamanan dan perlindungan data pribadi 98,1 persen, kepastian hukum bagi penanganan penipuan digital 98,1 persen, dan publikasi kasus terkini dan modus operandi penipuan digital 97,2 persen. Lebih lanjut, edukasi atau pelatihan tentang keamanan digital 97 persen, ketersediaan situs web dan aplikasi dari pihak berwenang untuk bisa mengecek validitas penjual 96,7 persen, dan kampanye publik agar warga berhati-hati dan tips cara menghindari penipuan 95,9 persen. Sementara dari sisi penanganan, responden menganggap sangat penting untuk pemberian hukuman setimpal bagi penipu dan kompensasi bagi korban oleh penipu 70,5 persen. Disusul dengan rekomendasi profesionalitas aparat dalam membantu korban 69,4 persen; ketersediaan sistem pelaporan yang memudahkan korban melapor 65,8 persen, dan rekomendasi pendampingan/advokasi korban penipuan 59,3 persen. * Baca Juga Ditjen Imigrasi Deportasi MT Tersangka Penipuan Bansos di Jepang
Ataupenipuan berkedok pembaruan data dari oknum yang mengaku dari sebuah bank. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau telepon mencurigakan yang berisi tautan palsu, iming-iming hadiah, dan permintaan kode OTP/PIN, abaikan saja. Bisa jadi Anda tengah diincar oleh pelaku penipuan online. Oleh
Jakarta ANTARA - Studi terbaru dari Center for Digital Society CfDS Universitas Gadjah Mada UGM bertajuk "Penipuan Digital di Indonesia Modus, Medium, dan Rekomendasi" menunjukkan bahwa penipuan berkedok hadiah menjadi modus penipuan digital tertinggi di Indonesia. Baca juga Penjahat siber lakukan penipuan menggunakan serial "Stranger Things" "Dari responden, riset menunjukkan 66,6 persen dari mereka orang pernah menjadi korban penipuan digital, dengan penipuan berkedok hadiah 36,9 persen melalui jaringan seluler sebagai modus yang paling banyak memakan korban," kata Ketua Tim Peneliti CfDS UGM Dr. Novi Kurnia dalam seminar web, Rabu. Adapun terdapat 15 modus penipuan digital, beberapa di antaranya berkedok hadiah 91,2 persen, pinjaman online ilegal 74,8 persen, pengiriman tautan yang berisi malware/virus 65,2 persen hingga penipuan berkedok krisis keluarga 59,8 persen. "Pesan penipuan berkedok hadiah cenderung disampaikan secara massal. Selain itu, rendahnya kemampuan ekonomi calon korban menjadi celah penipu untuk melancarkan aksinya, dan modus pesan penipuan digital ini dapat terus berkembang," kata Novi. Lebih lanjut, Novi mengatakan dari studi tersebut, terdapat setidaknya delapan medium penipuan digital, masing-masing medium memiliki karakter jenis pesan penipuan yang berbeda. Medium-medium tersebut termasuk jaringan seluler seperti SMS/telepon 64,1 persen, media sosial 12,3 persen, aplikasi chat 9,1 persen, situs web 8,9 persen, surel 3,8 persen, lokapasar 0,8 persen, game 0,5 persen, dan dompet elektronik 0,4 persen. Di sisi lain, lebih dari separuh responden 50,8 persen yang menjadi korban penipuan menyatakan bahwa mereka tidak mengalami kerugian. "Alasan korban menyatakan hal tersebut adalah mereka telah mengikhlaskan peristiwa itu sebagai bagian dari cobaan atau perjalanan hidup. Di samping itu, sebagian responden juga melihat kerugian dari aspek finansial saja," kata Novi. Kerugian lainnya mencakup uang 15,2 persen, kerugian waktu 12 persen, perasaan seperti malu, sedih, kecewa, takut dan trauma 8,4 persen, kebocoran data pribadi 8,3 persen, kerugian barang 4,2 persen, lainnya 1,2 persen, kerugian fisik 0,3 persen. Bicara soal laporan, 48,3 persen korban memilih untuk menceritakan kepada keluarga atau teman. Sementara ada yang tidak melakukan apa-apa 37,9 persen, menceritakan kepada warganet 5,3 persen, melaporkan pada media sosial atau platform digital lainnya 5 persen, dan melaporkan kepada kepolisian 1,8 persen. "Seluruh pemangku kepentingan diharapkan dapat melakukan kolaborasi dan sinergi untuk menjawab harapan dan kebutuhan masyarakat agar terhindar dari penipuan digital," ujar Novi. Dari studi tersebut, Novi mengatakan responden memiliki sejumlah rekomendasi penipuan digital. Dari sisi pencegahan, responden menginginkan adanya peningkatan sistem keamanan dan perlindungan data pribadi 98,1 persen, kepastian hukum bagi penanganan penipuan digital 98,1 persen, dan publikasi kasus terkini dan modus operandi penipuan digital 97,2 persen. Lebih lanjut, edukasi atau pelatihan tentang keamanan digital 97 persen, ketersediaan situs web dan aplikasi dari pihak berwenang untuk bisa mengecek validitas penjual 96,7 persen, dan kampanye publik agar warga berhati-hati dan tips cara menghindari penipuan 95,9 persen. Sementara dari sisi penanganan, responden menganggap sangat penting untuk pemberian hukuman setimpal bagi penipu dan kompensasi bagi korban oleh penipu 70,5 persen. Disusul dengan rekomendasi profesionalitas aparat dalam membantu korban 69,4 persen; ketersediaan sistem pelaporan yang memudahkan korban melapor 65,8 persen, dan rekomendasi pendampingan/advokasi korban penipuan 59,3 persen. Informasi selengkapnya terkait studi ini dapat diakses melalui tautan Baca juga Mengulik penyebab lembaga keuangan rentan alami serangan siber Baca juga CEO NSO Group mengundurkan diri Baca juga Dugaan kebocoran data perlu diverifikasi guna tentukan upaya lanjutanPewarta Arnidhya Nur ZhafiraEditor Ida Nurcahyani COPYRIGHT © ANTARA 2022
BacaJuga : Waspada Penipuan Berkedok Undiah Berhadiah, Ini Ciri Undian Resmi "Kami mendapatkan laporan bahwa ada oknum yang mengatasnamakan RSUD Arifin Achmad melayangkan surat kepada perusahaan. Dalam surat tersebut langsung menyebutkan bahwa perusahaan menang lelang," kata Lia.
Kompas TV bisnis ekonomi dan bisnis Kamis, 25 Agustus 2022 1250 WIB Ilustrasi penipuan digital. Sumber JAKARTA, - Penipuan berkedok hadiah menjadi modus penipuan digital tertinggi di Indonesia. Hal itu terungkap dari hasil survei Center for Digital Society CfDS Universitas Gadjah Mada UGM bertajuk "Penipuan Digital di Indonesia Modus, Medium, dan Rekomendasi". Ketua Tim Peneliti CfDS UGM Dr. Novi Kurnia menyebutkan, hasil survei juga menunjukkan modus penipuan digital yang paling banyak digunakan. "Dari responden, riset menunjukkan 66,6 persen dari mereka orang pernah menjadi korban penipuan digital, dengan penipuan berkedok hadiah 36,9 persen melalui jaringan seluler sebagai modus yang paling banyak memakan korban," kata Novi seperti dikutip dari Antara, Kamis 25/8/2022. "Pesan penipuan berkedok hadiah cenderung disampaikan secara massal. Selain itu, rendahnya kemampuan ekonomi calon korban menjadi celah penipu untuk melancarkan aksinya, dan modus pesan penipuan digital ini dapat terus berkembang," lanjutnya. Baca Juga Simak! Ini Trik yang Sering Digunakan Investasi Bodong, Tips Menghindarinya Jangan Mudah Tergiur Ia menjelaskan, penipuan digital juga dilakukan lewat beberapa saluran. Ada 8 saluran yang biasa digunakan dengan karakter jenis pesan penipuan yang berbeda. Medium-medium tersebut termasuk jaringan seluler seperti SMS/telepon 64,1 persen, media sosial 12,3 persen, aplikasi chat 9,1 persen, situs web 8,9 persen, surel 3,8 persen, lokapasar 0,8 persen, game 0,5 persen, dan dompet elektronik 0,4 persen. Di sisi lain, lebih dari separuh responden 50,8 persen yang menjadi korban penipuan menyatakan bahwa mereka tidak mengalami kerugian. "Alasan korban menyatakan hal tersebut adalah mereka telah mengikhlaskan peristiwa itu sebagai bagian dari cobaan atau perjalanan hidup. Di samping itu, sebagian responden juga melihat kerugian dari aspek finansial saja," terang Novi. Baca Juga Biar Belanja Aman, Simak Tips Terhindar Penipuan Online Shop Kerugian lainnya mencakup uang 15,2 persen, kerugian waktu 12 persen, perasaan seperti malu, sedih, kecewa, takut dan trauma 8,4 persen, kebocoran data pribadi 8,3 persen, kerugian barang 4,2 persen, lainnya 1,2 persen, kerugian fisik 0,3 persen. Kemudian, 48,3 persen korban memilih untuk menceritakan kepada keluarga atau teman. Sementara ada yang tidak melakukan apa-apa 37,9 persen, menceritakan kepada warganet 5,3 persen, melaporkan pada media sosial atau platform digital lainnya 5 persen, dan melaporkan kepada kepolisian 1,8 persen. "Seluruh pemangku kepentingan diharapkan dapat melakukan kolaborasi dan sinergi untuk menjawab harapan dan kebutuhan masyarakat agar terhindar dari penipuan digital," ujarnya. Para korban pun berharap adanya penindakan dari pemerintah dan lembaga terkait. Yakni berupa peningkatan sistem keamanan dan perlindungan data pribadi 98,1 persen, kepastian hukum bagi penanganan penipuan digital 98,1 persen, dan publikasi kasus terkini dan modus operandi penipuan digital 97,2 persen. Baca Juga Waspada Penipuan CS Bank Palsu, Ini Ciri dan Tips Menghindarinya Selanjutnya, berupa edukasi atau pelatihan tentang keamanan digital 97 persen, ketersediaan situs web dan aplikasi dari pihak berwenang untuk bisa mengecek validitas penjual 96,7 persen, dan kampanye publik agar warga berhati-hati dan tips cara menghindari penipuan 95,9 persen. Sementara dari sisi penanganan, responden menganggap sangat penting untuk pemberian hukuman setimpal bagi penipu dan kompensasi bagi korban oleh penipu 70,5 persen. Disusul dengan rekomendasi profesionalitas aparat dalam membantu korban 69,4 persen; ketersediaan sistem pelaporan yang memudahkan korban melapor 65,8 persen, dan rekomendasi pendampingan/advokasi korban penipuan 59,3 persen. Informasi selengkapnya terkait studi ini dapat diakses melalui tautan Sumber Antara BERITA LAINNYA
ftrlFy. n80k4c0b1m.pages.dev/187n80k4c0b1m.pages.dev/553n80k4c0b1m.pages.dev/70n80k4c0b1m.pages.dev/430n80k4c0b1m.pages.dev/390n80k4c0b1m.pages.dev/215n80k4c0b1m.pages.dev/485n80k4c0b1m.pages.dev/67
penipuan berkedok hadiah elektronik